Tentang Euthanasia

euthanasia

Euthanasia

Kematian dapat dibagi menjadi 2, yaitu : somatic death (kematian somatik) dan biological death (kematian biologik). Kematian somatik merupakan fase kematian diaman tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu badan yang menurun, dan tidak adanya aktifitas listrik otak pada rekamna EEG. Dalam waktu 2 jam, kematian somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel. Berdasarkan cara terjadinya, ilmu pengetahuan membagi kematian dalam 3 jenis :
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi secara alamiah,
2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar,
3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu “eu” yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan “thanatos” yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Secara harfiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Menurut Philo (50-20 SM) euthansia bdrarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis mengatakan bahwa euthanasia berati mati cepat tanpa derita.Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umurnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. Dari pengertian di atas maka euthanasia mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

  • Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
  • Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memmperpanjang hidup pasien
  • Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan
  • Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya
  • Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya

Dari berbagai penggolongan euthanasia,yang paling praktis dan mudah dimengerti adalah:
ü Euthanasia pasif, dimana tenaga medis tidak lagi memberikan tau melanjutkan tindakan medis
Euthansia aktif, baik secara langsung maupun tidak langsung,di mana
ü tenaga medis sengaja melakukan tindakan untuk mengakhiri hidup pasien

Dalam euthansia setidaknya terdapat empat macam ilmu di dalamnya yaitu hukum, hak asasi, biologi/kedokteran dan agama yang masing-masing memiliki standar kebenaranyang berbeda. Ada empat metode euthanasia:
1.Euthansia sukarela, ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan kematian
2.Euthanasia non sukarela, ini terjadi ketika individu tidak mampu menyetujui karena faktor usia, ketidakmampuan fisik dan mental. Hal ini dilakukan dengan menghentikan bantuan makanan minuman untuk pasien yang berada dalam kondisi koma
3.Euthanasia tidak sukarela, terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan persetujuannya, tetapi hal ini tidak dilakukan.
Bantuan bunuh diri. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh dirinya sendiri.
Euthanasia atau suntik mati terdiri dari tiga tahapan. Tahap pertama adalah memberikan suntikan unyuk anesthesi. Tahap kedua adalah memberikan suntikan untuk melumpuhkan tubuh dan menghentikan pernafasan. Tahap ketiga atau terakhir adalah memberikan suntikan untuk menghentikan detak jantung.
Menurut Deklarasi Lisabon tahun 1981, euthansia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam prakteknya, tenaga medis tidak dapat melakukan euthanasia karena dua kendala. Dokter misalnya terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien, tetapi disisi lain dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana.

Pandangan Islam Terhadap Euthanasia

Syariah islam mengharamkan euthanasia aktif karena termasuk kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad).Walaupun memiliki niat baik utuk meringankan penderitaan pasien dan merupakan permintaan pasien atau keluarganya, tetapi hukum euthanasia tetap haram. Dalil-dalil untuk masalah ini sangat jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan.Allah berfirman :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (Q.S Al-An’aam :151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)………” (Q.S An-Nisaa’: 92)
” Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S An-Nisaa’ : 29)
Dalil-dalil di atas jelaslah bahwa haram hukumnya bagi tenaga medis melakukan euthansia aktif. Sebab tindakan tersebut termasuk ke dalam kategori pembunuhan yang merupakan tindak pidana dan berdosa besar.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA, bahwa seorang wanita berkulit hitam pernah datang kepada Nabi Muhammad dan minta didoakan agar disembuhkan dari penyakit epilipsi yang dideritanya karena auratnya sering tersikap, kemudian Nabi Muhammad berkata, “Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita itu berkata,”baiklah aku kan bersabar.” Lalu ia berkata lagi, “sesungguhnya auratku sering tersikap saat ayanku kambuh, maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersikap.” Maka Nabi Muhammad berdoa untuknya.
Berdasarkan penjelasan di atas hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien setelah matinya/rusaknya organ otak hukumnya boleh dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya.
Abdul Qadim Zallum mengatakan bahwa jika para tenaga medis telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka tenaga medis berhak menghentikan pengobatan, termasuk menghentikan alat bantu pernafasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasif tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien, meskipun sebagian organ vitalnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien karena organ-organ ini pun segera tidak berfungsi.

Fatwa MUI Tentang Euthanasia

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin mengatakan MUI telah lama mengeluarkan fatwa yang mengharamkan dilakukannya tindakan euthanasia (tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat). Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI tidak dibenarkan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain.
Euthanasia hanya boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus. Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh pasien lain yang memiliki tingkat peluang hidupnya lebih besar dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan masyarakat. Sedangkan kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.

Tinggalkan komentar